Kamis, 07 April 2011

Pancasila Kewarganegaraan ( Tugas 2)

HANYA KARENA MENCURI 3 BUAH KAKAO, NENEK MINAH DIHUKUM 1 BULAN 15 HARI

Bab I
Pendahuluan
1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum, dimana di mata hukum keadilan sangat dijunjung tinggi, dan di mata hukum kedudukan tiap-tiap individu adalah seimbang. Namun ironisnya, terjadi berbagai ketidakadilan dalam hukum di Indonesia.
Hukum terkadang tidak lepas dari potret kemiskinan yang terjadi di Indonesia, tidak jarang kaum yang kurang dalam bidang materi melakukan tindakan yang melanggar hukum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu tindakan yang dilakukan misalnya mencuri.
Pencurian, yaitu mengambil barang yang dimiliki orang lain dan bertentangan dengan hukum (KUHP pasal 362) merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum pidana, karena hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Tindak pencurian diatur dalam pasal 362 hukum pidana, dimana tindakan yang termasuk pencurian adalah barang siapa mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu secara melawan hukum, dihukum karena melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya 15 kali enam puluh rupiah.
Salah satu contoh kasus pencurian adalah pencurian tiga buah biji kakao yang dilakukan oleh seorang nenek.
Kasus pencurian ini dimulai ketika Aminah, nenek berusia 55 tahun hendak menambah biji kakao di rumahnya, ia memutuskan mengambil tiga buah biji kakao milik perkebunan PT PT Rumpun Sari Antan 4 yang berdekatan dengan rumahnya. Belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya,
Sutarno memperingatkannya bahwa kakao di perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunan. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Namun manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang. Laporan itu berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di meja hijau.
Majelis hakim memutuskan, Minah dihukum percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Jadi, Minah tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.
Setelah vonis percobaan itu pun, jaksa penuntut umum mengatakan akan mengajukan pikir-pikir untuk mengajukan banding. Hukuman kepada Minah memang tak lepas dari proses hukum yang telanjur menjeratnya dari mulai penyidikan di kepolisian.Inilah ironi di negeri ini. Koruptor yang makan uang rakyat bermiliar-miliar banyak yang lolos dari jeratan hukum. Tapi nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000.
2. Rumusan Masalah
Apakah vonis yang dijatuhkan sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan?
3.Tujuan
- Mengetahui pengertian hukum dan hukum pidana
- Menganalisis hukum yang berlaku di Indonesia
- Memberi fakta tentang keadaan keadilan di Negara Indonesia
- Menganalisa apakah vonis yang dijatuhkan telah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan


Bab II
Pembahasan
Aminah, nenek usia 55 tahun, didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto Muslich Bambang Lukmanto akhirnya menjatuhkan vonis :
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu bulan 15 hari dengan ketentuan tidak usah terdakwa jalani kecuali jika terdakwa dijatuhi pidana lain selama tiga bulan masa percobaan."
Padahal nilai materi dari tiga buah biji kakao hanya sebesar Rp. 2000,-.
Analisis unsur-unsur tindak pidana didalam pasal 362 KUHP.
Dalam pasal ini dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh nenek Aminah, namun terlebih dahulu harus dianalisa apakah perbuatan sang nenek telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 362 ini, seperti unsur subyektif, dan unsur obyektif.

Unsur obyektif:
- Perbuatan mengambil
Nenek Minah secara sadar mengambil unsur benda yang bukan miliknya. Memindahkannya dari tempat semua secara ”sengaja”.
- Barang
Pohon, buah, maupun biji kakao yang merupakan hasil dari pohon kakao yang ada di perkebunan tempat Nenek Minah bekerja adalah kepunyaan pemilik perkebunan. Dan unsur mengambil barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain telah terpenuhi.
- Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
Biji kokoa yang diambil oleh Nenek Minah, berada dalam pekarangan halaman PT. RSA 4 yang berarti seluruh pohon, buah, biji yang ada di dalamnya adalah milik PT RSA 4.

Unsur subyektif :
- Maksud untuk memiliki
Perbuatan Nenek Aminah yang mengambil 3 biji kokoa untuk memilikinya, dan ditanam di halaman rumahnya. Dapat dikatakan bahwa pelaku harus mengetahui, bahwa barang yang diambil itu baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian adalah milik orang lain. Sekalipun pencurian biasanya dilakukan untuk memperoleh keuntungan (“winstbejag”), keuntungan disini adalah untuk menambah biji kokoa di halaman rumahnya.
- Melawan Hukum
Perbuatan Aminah adalah perbuatan melawan hukum, karena ia mengambil unsure benda secara sadar yang memang bukan miliknya.
Apalagi PT.RSA 4 juga telah memasang peringatan di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunan.

Unsur-unsur tindak pidana yang terkandung didalam pasal 362 KUHP:
- Barangsiapa (subyektif)
- Mengambil (obyektif)
- Barang (obyektif) (yang sebagian / seluruhnya kepunyaan orang lain)
- Dengan maksud memiliki (subyektif)
- Secara melawan hukum (obyektif)
Jadi dapat disimpulkan, bahwa nenek aminah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Jika dilihat dari kriteria perbuatan melanggar hukum menurut Jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun 1919 :
- Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
Nenek Minah mempunyai kewajiban untuk tidak mengambil biji kokoa yang bukan miliknya
- Melawan hak subjektif orang lain.
Perbuatan Nenek Minah melawan hak subyektif milik PT. RSA 4, maksudnya PT. RSA 4 memiliki hak untuk hasil perkebunannya sendiri
- Melawan kaidah tata susila.
Perbuatan pencurian ini melanggar norma susila
- Bertentangan dengan asas kepatutan, ketertiban, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Nenek Minah seharusnya tidak mengambil apa yang memang bukan miliknya.
Nenek Minah memang memenuhi kriteria tindakan pidana pencurian baik menurut pasal 362 atau Jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun 1919, namun disini, kita juga mempunyai sisi lain dalam melihat kasus ini.
Memang perbuatan mencuri atau perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang diatur didalam KUHP maupun UU lain yang melanggar norma-norma hukum, norma agama, norma kesusilaan tidak dapat ditolerir. Dan didalam hukum juga tidak memandang seberapa kecil atau besarnya perbuatan yang melanggar hukum harus tetap ditindak berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk menciptakan rasa keadilan.
Namun sebagai manusia yang mempunyai hati nurani dan akal yang sehat kita harus tetap bisa melihat keadilan tidak dengan satu sudut pandang. Apalagi dalam kasus ini, Nenek Minah yang memang lemah secara edukasi memiliki ketidaktahuan akan perbuatan yang dilakukannya, perbuatan pencurian ini dilakukan secara tidak ia sengaja.
Sebenarnya para pihak penegak hukum harus jeli dalam menanggapi kasus ini. Jangan sampai berakhir seperti ini, sedangkan tindak pidana korupsi yang menghabiskan uang rakyat dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia yang menderita susah sekali untuk dituntaskan dan kadang vonis yang diberikan tidak seimbang dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Kasus nenek minah ini merupakan kasus yang sepele yang tidak perlu dibesar – besarkan karena barang yang sebenarnya dicuri oleh nenek minah nominalnya bisa dikatakan sangatlah tidak terlalu menguntungkan.
Jika semua pengadilan berpikir bahwa semua tindakan salah dan melanggar hukum di Indonesia harus diadili memang benar harus diadili tetapi dalam mengadilinya itu jaksa harus dapat memilah kasus apa yang pantas diadili atau kasus yang menggunakan cara keluar dengan jalan kekeluargaan, karena kejahatan di Indonesia semakin meluas dan mewabah dimana – mana untuk itu pemerintah yang berwajib harus jeli menentukan kasus ini dimana.
Pemerintah lebih baik memperhatikan para penjahat yang lebih berbahaya atau para koruptor yang lebih menakutkan daripada hanya memperhatikan kasus hukum yang kapasitasnya sepele yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara baik – baik tanpa harus masuk ke meja hijau.

Bab III
Kesimpulan
Hukum dibuat untuk menegakkan keadilan, tanpa membeda-bedakan derajat setiap orang. Namun terkadang praktek yang terjadi di lapangan dapat bertolak belakang dengan teori yang ada.
Kasus pencurian yang dilakukan oleh Aminah, dimana vonis yang dijatuhkan atasnya terasa terlalu berat, adalah potret dari ketidakseimbangan hukum yang ada di Indonesia. Pidana yang dijatuhkan terlihat tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Memang tindakan yang dilakukan Aminah memenuhi unsur-unsur pasal 362 tentang pencurian, namun Hakim setidaknya mempertimbangkan nilai nominal dari benda yang diambilnya. Apalagi Aminah melakukan hal ini bukan karena ia sengaja, tapi lebih karena ketidaktahuannya akan hukum.
Daftar Pustaka
- http://www.detiknews.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari?991101605
- http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/11/16/88311/Dimejahijaukan..Ambil.Tiga.Biji.Kakao.Senilai.Rp.2.100
- http://infoindonesia.wordpress.com/2009/11/17

Pancasila Kewarganegaraan ( Tugas 1)

KASUS PELANGGARAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
GAYUS TAMBUNAN

Bab I
Pendahuluan
1.Latar Belakang
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
2.Masalah
Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.

Bab II
Pembahasan
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi.
Gayus Tambunan bisa saja divonis tujuh tahun dan instruksi presiden dapat saja dikeluarkan. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin Gayus tidak lagi ”mempermainkan” lembaga hukum dan perpajakan hingga kelak menyelesaikan masa hukumannya? Ataukah siapa yang dapat memastikan tindak kejahatan serupa kasus Gayus tidak sedang berlangsung marak di lembaga tersebut?
Sangatlah tepat jika tajuk dari media cetak ini mempertanyakan kelanjutan atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan penanganan kasus Gayus. Tajuk juga secara tersirat harus ditafsirkan ingin mempersoalkan apakah pihak lain yang terlibat juga dapat dituntaskan secara hukum. Pertanyaan selanjutnya yang lebih struktural dalam kaitan instruksi presiden adalah apakah instruksi presiden dapat jadi pintu masuk untuk menyelesaikan mafia pajak dan mafia hukum, bukan sekadar kasus Gayus semata?
Salah satu hal penting dalam instruksi presiden adalah penerapan pembuktian terbalik yang bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Tulisan ini hendak mengelaborasi berbagai hal penting agar penerapannya dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukan serta instruksi presiden.
Pada sebagian diskursus mengenai pemberantasan korupsi, frasa kata ”pembuktian terbalik” senantiasa diajukan sebagai suatu metode dan prasyarat meningkatkan upaya dan hasil pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu diajukan beberapa prasyarat dan diintegrasikan dalam suatu sistem pemberantasan korupsi yang tepat agar pembuktian terbalik dapat benar-benar efektif.
Secara umum, strategi pemberantasan korupsi harus bertumpu pada beberapa hal. Pertama, kontrol atas penggunaan wewenang, khususnya kewenangan diskresionari yang potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, menggunakan metode mengikuti aliran uang sehingga akan diketahui pergerakan uang hasil kejahatan. Ketiga, membuat kebijakan untuk mengikuti aliran aset. Dengan demikian, kelak diketahui apakah peningkatan kekayaan seorang penyelenggara negara sesuai penghasilannya secara material dan relevan.
Ada dua fakta yang secara diametral berjalan berlawanan. Di satu sisi, ketentuan pembuktian terbalik telah dikemukakan dalam UU No 20 Tahun 2001 dan bersifat ”premium remedium”. Ini mengandung prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara. Pembuktian dimaksud adalah prasyarat untuk melakukan perampasan harta benda milik tersangka dan/atau terdakwa yang berasal dari gratifikasi dan/atau tindak pidana korupsi tertentu lainnya.
Di sisi lain, kendati ketentuan dimaksud telah ada jauh sebelum instruksi presiden, ternyata sangat tidak efektif digunakan untuk memberantas korupsi.
Harus lebih diefektifkan
Perlu beberapa upaya lain agar pembuktian terbalik efektif diterapkan. Caranya, satu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) harus dapat diakses. Selain itu, KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Huruf a UU No 30 Tahun 2001, seyogianya tidak hanya berwenang melakukan pendaftaran dan LHKPN, tetapi juga memiliki wewenang pemeriksaan sebagaimana wewenang yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggara Negara (KPKPN).
Wewenang itu, antara lain, melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan penyelenggara negara serta melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai tidak sekadar laporan, tetapi harta kekayaan penyelenggara negara berdasarkan petunjuk adanya KKN (lihat Pasal 17 Ayat 2 Huruf a dan c UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang sudah dicabut). Presiden harus mendukung KPK agar menjalankan wewenang dalam konteks LHKPN sesuai tafsir di atas.
Kedua, perlu diatur suatu ketentuan yang merumuskan secara tegas mengenai batas minimum tertentu pada semua transaksi yang harus menggunakan sistem transaksi perbankan dan jasa keuangan. Pengaturan dimaksud tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara negara, tetapi juga transaksi yang dilakukan oleh korporasi dan seluruh kalangan profesional.
Lembaga penegak hukum dengan dukungan pemerintah melakukan mutual legal assistance (MLA) dengan negara dan lembaga perbankan lain agar dapat mengakses lembaga perbankan di luar negeri terhadap pihak yang diduga melakukan transaksi yang mencurigakan dan diduga melakukan KKN.
Ketiga, lembaga PPATK ditingkatkan kemampuannya agar mempunyai sistem yang lebih canggih untuk melacak transaksi keuangan yang mencurigakan. PPATK juga perlu wewenang lebih untuk melaporkan Laporan Hasil Analisis (LHA) tidak hanya kepada kepolisian, tetapi juga kepada lembaga penegak hukum lain yang punya otoritas memeriksa kasus-kasus tindak pidana korupsi. PPATK juga sebaiknya melaporkan secara berkala kepada publik penggunaan kewenangannya sesuai konteks di atas, meminta konfirmasi perkembangan pemeriksaan LHA yang dikirim ke lembaga penegak hukum, serta melaporkan kepada DPR bila mendapat konfirmasi dari penegakan hukum tersebut.
Keempat, perlu ketentuan yang mengatur bahwa penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya secara jujur dalam LHKPN, bila kelak ditemukan harta kekayaan lain di luar yang sudah dilaporkan, maka harta kekayaan dimaksud dapat segera dirampas untuk negara. Oleh karena itu, KPK sebagai lembaga yang punya kewenangan melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN perlu diperluas kewenangannya untuk merampas harta kekayaan yang tidak dilaporkan.
Kelima, pembuatan LHKPN harus bersifat mandatori dan berpengaruh langsung terhadap sistem dan pemberian remunerasi, promosi, dan mutasi dari seorang penyelenggara negara. Dengan cara demikian, akan dapat dihasilkan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Jika saja instruksi presiden ditindaklanjuti dengan pembuatan perpu atau perundangan lain dan peraturan dimaksud dapat mengakomodasi dan melegalisasi berbagai gagasan di atas, maka dapat dipastikan pembuktian terbalik dapat segera diterapkan secara faktual dan konsisten, tidak sekadar menjadi daftar keinginan atau bahkan jargon belaka.
Bab III
Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

Daftar Pustaka
- http://m.kompas.com/news/read/data/2011.02.16.05341694
- http://manshurzikri.wordpress.com/2010/12/14/