Senin, 30 April 2012

Cerpen Bebas

Nama : Sayang Sori Ocsilen
NPM : 15209430
Kelas : 3EA17


“SAHABAT SEJATI MEMBERI TANPA KATA-KATA, TANPA MENEPUK DADA”

Sabtu pagi “Dina … dipanggil kepala sekolah!” lagi-lagi namaku dipanggil. Aku sudah tahu apa yang akan disampaikan Kepala Sekolah. Bulan lalu Bu Ida wali kelasku memanggil menyampaikan salam untuk orang tuaku untuk segera membayar biaya SPP-ku yang sudah nunggak hampir 6 bulan. Sebulan sebelumnya bahkan bagian Tata Usaha sudah berkali-kali memanggilku hingga semua teman-teman tahu setiap kali aku dipanggil pasti urusannya dengan soal bayaran sekolah.

Sejak orangtuaku bercerai dan aku memutuskan untuk ikut ibu setahun yang lalu, kondisi ekonomi keluargaku memang semakin terdesak. Terlebih sejak ayah menyetop kiriman uang yang seharusnya menjadi kewajibannya 6 bulan lalu. Ibu yang hanya lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama) menggunakan kemampuannya mengetuk satu persatu pintu orang-orang berada dan menawarkan jasanya untuk mengajar ngaji anak-anak mereka. Akibat kebutuhan yang mendesak itulah, ibu selalu kehabisan uang untuk biaya sekolahku, juga adik-adikku.

Ada Reynaldi, kami memanggilnya Aldi, di kelas ia selalu menjadi biang keributan, sering membuat onar dan tidak jarang berbuat usil terutama kepada perempuan. Hampir semua anak dikelas tak menyukainya, selain ia juga sombong.

Ia sangat suka pamer jika mempunyai barang-barang bagus yang baru dibelikan orangtuanya, seperti sepatu dan tas. Dilihat dari merk-nya sih, jelas tidak murah, bagus pula modelnya. Aku tak pernah iri kepadanya, hanya saja yang membuat aku membencinya lebih karena ocehannya setiap petugas tata usaha memanggilku. “Pinter-pinter nunggak…” atau sindiran lainnya.

Sore menjelang Ashar, dengan langkah gontai aku memasuki teras rumah. Kulihat ibu sedang menyapu lantai. Sejak dalam perjalanan pulang sudah kuputuskan untuk tidak menyampaikan surat panggilan kepala sekolah agar tidak menjadi beban pikiran Ibu. Lagi pula mulai besok sampai minggu depan sekolah libur.

Sabtu minggu sesudah jadwal masuk aku masih belum mau ke sekolah. Aku ‘membohongi’ ibu dengan mengatakan bahwa libur sekolah diperpanjang. Hingga akhirnya Nadia, seorang temanku datang dan mengajakku ke sekolah. Ada yang lain di sekolah, petugas TU yang biasanya tak pernah senyum kepadaku, hari ini begitu ramah. Di kelas, tak ada yang berubah kecuali Aldi, teman- teman bilang ia telah berubah setelah mengikuti pesantren kilat selama liburan yang lalu. Tak ada lagi kesombongan dan sifat usilnya.

Itu dua belas tahun yang lalu, saat aku masih duduk dibangku SMA kelas 2. Kini aku tak pernah bertemu lagi dengan mereka, orang-orang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Yang kutahu cuma satu, Nadia, teman sekolahku dulu kini menjadi salah satu staf dalam perusahaan yang aku dipercaya menjadi General Managernya. Satu bulan lalu saat acara syukuran dikantor atas dipercayanya aku menjadi GM, Nadia membisikkan sesuatu yang membuatku menitikkan airmata. “Masih ingat Aldi? Dia menjual tas dan sepatu barunya untuk melunasi tunggakan biaya sekolah kamu dulu.”

Sahabat sejati bukan memberi pada saat orang meminta, ia mempunyai mata pandang yang mampu menembus relung kebisuan sahabatnya. Ia memberi tanpa kata-kata, tanpa menepuk dada.

Saudaraku, mungkin sepanjang perjalanan hidup kita pernah ada orang- orang yang menjadikan dirinya batu pijakan sehingga kita bisa melangkah maju dan lebih jauh. Meski cuma batu kecil, namun keberadaannya mungkin telah menyelamatkan kita dari jurang kejatuhan yang melumpuhkan. Sayangnya, seringkali kita tak pernah menengok batu-batu pijakan itu dan melupakannya.