Kamis, 07 April 2011

Pancasila Kewarganegaraan ( Tugas 1)

KASUS PELANGGARAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
GAYUS TAMBUNAN

Bab I
Pendahuluan
1.Latar Belakang
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
2.Masalah
Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.

Bab II
Pembahasan
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi.
Gayus Tambunan bisa saja divonis tujuh tahun dan instruksi presiden dapat saja dikeluarkan. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin Gayus tidak lagi ”mempermainkan” lembaga hukum dan perpajakan hingga kelak menyelesaikan masa hukumannya? Ataukah siapa yang dapat memastikan tindak kejahatan serupa kasus Gayus tidak sedang berlangsung marak di lembaga tersebut?
Sangatlah tepat jika tajuk dari media cetak ini mempertanyakan kelanjutan atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan penanganan kasus Gayus. Tajuk juga secara tersirat harus ditafsirkan ingin mempersoalkan apakah pihak lain yang terlibat juga dapat dituntaskan secara hukum. Pertanyaan selanjutnya yang lebih struktural dalam kaitan instruksi presiden adalah apakah instruksi presiden dapat jadi pintu masuk untuk menyelesaikan mafia pajak dan mafia hukum, bukan sekadar kasus Gayus semata?
Salah satu hal penting dalam instruksi presiden adalah penerapan pembuktian terbalik yang bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Tulisan ini hendak mengelaborasi berbagai hal penting agar penerapannya dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukan serta instruksi presiden.
Pada sebagian diskursus mengenai pemberantasan korupsi, frasa kata ”pembuktian terbalik” senantiasa diajukan sebagai suatu metode dan prasyarat meningkatkan upaya dan hasil pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu diajukan beberapa prasyarat dan diintegrasikan dalam suatu sistem pemberantasan korupsi yang tepat agar pembuktian terbalik dapat benar-benar efektif.
Secara umum, strategi pemberantasan korupsi harus bertumpu pada beberapa hal. Pertama, kontrol atas penggunaan wewenang, khususnya kewenangan diskresionari yang potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, menggunakan metode mengikuti aliran uang sehingga akan diketahui pergerakan uang hasil kejahatan. Ketiga, membuat kebijakan untuk mengikuti aliran aset. Dengan demikian, kelak diketahui apakah peningkatan kekayaan seorang penyelenggara negara sesuai penghasilannya secara material dan relevan.
Ada dua fakta yang secara diametral berjalan berlawanan. Di satu sisi, ketentuan pembuktian terbalik telah dikemukakan dalam UU No 20 Tahun 2001 dan bersifat ”premium remedium”. Ini mengandung prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara. Pembuktian dimaksud adalah prasyarat untuk melakukan perampasan harta benda milik tersangka dan/atau terdakwa yang berasal dari gratifikasi dan/atau tindak pidana korupsi tertentu lainnya.
Di sisi lain, kendati ketentuan dimaksud telah ada jauh sebelum instruksi presiden, ternyata sangat tidak efektif digunakan untuk memberantas korupsi.
Harus lebih diefektifkan
Perlu beberapa upaya lain agar pembuktian terbalik efektif diterapkan. Caranya, satu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) harus dapat diakses. Selain itu, KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Huruf a UU No 30 Tahun 2001, seyogianya tidak hanya berwenang melakukan pendaftaran dan LHKPN, tetapi juga memiliki wewenang pemeriksaan sebagaimana wewenang yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggara Negara (KPKPN).
Wewenang itu, antara lain, melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan penyelenggara negara serta melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai tidak sekadar laporan, tetapi harta kekayaan penyelenggara negara berdasarkan petunjuk adanya KKN (lihat Pasal 17 Ayat 2 Huruf a dan c UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang sudah dicabut). Presiden harus mendukung KPK agar menjalankan wewenang dalam konteks LHKPN sesuai tafsir di atas.
Kedua, perlu diatur suatu ketentuan yang merumuskan secara tegas mengenai batas minimum tertentu pada semua transaksi yang harus menggunakan sistem transaksi perbankan dan jasa keuangan. Pengaturan dimaksud tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara negara, tetapi juga transaksi yang dilakukan oleh korporasi dan seluruh kalangan profesional.
Lembaga penegak hukum dengan dukungan pemerintah melakukan mutual legal assistance (MLA) dengan negara dan lembaga perbankan lain agar dapat mengakses lembaga perbankan di luar negeri terhadap pihak yang diduga melakukan transaksi yang mencurigakan dan diduga melakukan KKN.
Ketiga, lembaga PPATK ditingkatkan kemampuannya agar mempunyai sistem yang lebih canggih untuk melacak transaksi keuangan yang mencurigakan. PPATK juga perlu wewenang lebih untuk melaporkan Laporan Hasil Analisis (LHA) tidak hanya kepada kepolisian, tetapi juga kepada lembaga penegak hukum lain yang punya otoritas memeriksa kasus-kasus tindak pidana korupsi. PPATK juga sebaiknya melaporkan secara berkala kepada publik penggunaan kewenangannya sesuai konteks di atas, meminta konfirmasi perkembangan pemeriksaan LHA yang dikirim ke lembaga penegak hukum, serta melaporkan kepada DPR bila mendapat konfirmasi dari penegakan hukum tersebut.
Keempat, perlu ketentuan yang mengatur bahwa penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya secara jujur dalam LHKPN, bila kelak ditemukan harta kekayaan lain di luar yang sudah dilaporkan, maka harta kekayaan dimaksud dapat segera dirampas untuk negara. Oleh karena itu, KPK sebagai lembaga yang punya kewenangan melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN perlu diperluas kewenangannya untuk merampas harta kekayaan yang tidak dilaporkan.
Kelima, pembuatan LHKPN harus bersifat mandatori dan berpengaruh langsung terhadap sistem dan pemberian remunerasi, promosi, dan mutasi dari seorang penyelenggara negara. Dengan cara demikian, akan dapat dihasilkan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Jika saja instruksi presiden ditindaklanjuti dengan pembuatan perpu atau perundangan lain dan peraturan dimaksud dapat mengakomodasi dan melegalisasi berbagai gagasan di atas, maka dapat dipastikan pembuktian terbalik dapat segera diterapkan secara faktual dan konsisten, tidak sekadar menjadi daftar keinginan atau bahkan jargon belaka.
Bab III
Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

Daftar Pustaka
- http://m.kompas.com/news/read/data/2011.02.16.05341694
- http://manshurzikri.wordpress.com/2010/12/14/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar