KASUS AHMADIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pancasila adalah dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama- sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
1.1.1. Arti Penting Keberadaan Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan (kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk diterapkan. Sejarah Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang berbasis agama dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku.
1.1.2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas.
Dalam memahami dan mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa tak dapat dikotak-kotakkan dengan keempat sila lainnya karena Hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa (sebagai sebab) (hakikat sila I dan II) yang membentuk persatuan mendirikan negara dan persatuan manusia dalam suatu wilayah disebut rakyat (hakikat sila III dan IV) dan yang ingin mewujudkan suatu tujuan bersama yaitu keadilan dalam suatu persekutuan hidup masyarakat negara (keadilan sosial) (hakikat sila V).
Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya terkandung dalam:
a. Pembukaan UUD 1945 aline ketiga, yang antara lain berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.... “
Dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia tidak menganut paham maupun mengandung sifat sebagai negara sekuler. Sekaligus menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan merupakan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.
b. Pasal 29 UUD 1945
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan dan dihidup suburkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntunan agama masing-masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama.
Untuk senantiasa memelihra dan mewujudkan 3 model kerukunan hidup yang meliputi :
1. Kerukunan hidup antar umat seagama
2. Kerukunan hidup antar umat beragama
3. Kerukunan hidup antar umat beragama dan Pemerintah.
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa. Di dalam memahami sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya para pemuka agama senantiasa berperan di depan dalam menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya.
Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama Islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara pada saat itu.
1.1.3. Butir-Butir Pancasila Sila Pertama
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila.
Diantaranya:
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Kontroversi Pancasila Ditinjau Dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan Yang Maha Esa (Allahu Ahad).
Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syari’at Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini?
Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana.
Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,”Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong Bhineka, adalah kekuatan- kekuatan yang ingin menyeragamkan.” Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila.
Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
1.2.2. Kasus Ahmadiyah
Dari berbagai aliran keagamaan Islam di Indonesia, Ahmadiyah merupakan kasus yang paling kontroversional. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama. Yang pertama, dari sudut pandang hukum Islam, Ahmadiyah telah divonis sebagai aliran sesat dan dinyatakan sebagai kelompok di luar Islam melalui fatwa MUI, dan didukung kuat oleh kelompok Islam beraliran keras. Kedua,munculnya sebagian aktivis kemanusiaan yang menganggap Ahmad- iyah sebagai gerakan keagamaan yang melakukan tafsir keagamaan, yang meskipun berbeda dan bertentangan dengan keyakinan Islam mainstream, tapi harus dihargai sebagai bentuk keyakinan yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, di satu sisi, Ahmadiyah merupakan organisasi yang sah dan resmi secara hukum. Tapi di sisi lain, Ahmadiyah juga dianggap melanggar undang-undang lain yang populer dengan pasal-pasal penodaan agama. Ketiga faktor inilah yang saling berbenturan dan seakan masing-masing berusaha mendapatkan simpatik publik.
Puncak titik klimaksnya adalah pada tragedi Monas pada tanggal 1 Juli 2008, dimana sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka Komando Laskar Islam, menyerang kelompok massa AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), yang berbaur dengan massa Ahmadiyah. Insiden ini sempat menjadi Headline di beberapa media cetak maupun elektronik. Insiden ini berujung pada ditangkapnya beberapa anggota FPI (Front Pembela Islam),yang diyakini sebagai motor penggerak dalam penyerangan tersebut.
Dari segi keamanan sendiri, Ahmadiyah sebenarnya tidak bermasalah. Persoalan muncul justru dari penentang Ahmadiyah, yang cenderung bersikap anarkis, sehingga perhatian publik tidak hanya tertuju pada penyimpangan Ahmadiyah, tetapi juga kosekuensi yang muncul akibat penentangan yang bersifat anarkis itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA
Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat. Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan permusuhan. Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadichaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
2.2. KASUS AHMADIYAH
2.2.1. Tinjauan Pustaka
Keyakinan warga Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad mendapat status kenabian merupakan persoalan kunci, yang memicu kontroversi dengan umat Islam mainstream, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara Muslim di dunia. Selain itu, hasil pengalaman spiritual Mirza Ghulam Ahmad yang kemudian dikompilasi oleh pengikutnya dalam buku ’Tadzkirah’, diposisikan sebagai ’kitab suci’. Dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) 4-6 November 2007 Majelis Ulama Indonesia menetapkan sepuluh kriteria aliran sesat, salah satunya adalah Mengingkari salah satu dari rukun Iman dan rukun Islam. Juga apabila ada yang melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul.
Selain mengaku sebagai rasul, beberapa paham Amadilla yang dianggap sesat, antara lain:
1. Pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagaiT uhan. “Engkau dariku dan Aku darimu, punggungmu hádala punggung-Ku” (Tadzkirah 700)
2. Sikap Mirza Ghulam Ahmad terhadap Muhammad SAW. “Sesungguhnya Nabi saw memiliki tiga ribu mukjizat” (Kitab Tuhfan Kolrawiyah 67, RK 17/153). Dan sesungguhnya mukjizatku lebih dari satu juta mukjizat.” (Tadzkirah asy-Syahadatain 41, RK20/43)
3. Hujatan Mirza Ghulam Ahmad terhadap nabi Isa a.s. “Ya, dialah (Yesus Al-Masih) yang terbiasa banyak memaki dan Sangay jelek akhlaknya.” (RK 11/289, lampiran Injam Atiham 5 (foot note)).
4. Iuran wajib organisasi. “Candah (iuran) yang dinyatakan wajib oleh hazrat aqdas masih mau’ud a.s. (Mirza Ghulam Ahmad, pen) lepada setiap ahmadi untuk membayarnya dan siapa-siapa yang sampai tiga bulan berturut-turut tidak membayar, dikatakan keluar dari jemaat beliau. Itu sama sekali lain dan terpisah dari zakat”
5. Sakralisasi desa Qadian. “Sesungguhnya bumi Al-Qadian berhak untuk dihargai, karena menyerang dia sama dengan menyerang tanah haram.” (Durr Tsami 52)
2.2.2. Analisis
Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Esensinya adalah Tuhan. Berhubungan dengan Agama. Bagaimana agama memandang Ahmadiyah?
1. Ahmadiyah bukan beda dalam masalah furu’ (khilafiyah) tapi sudah beda dalam hal Aqidah. Sedangkan dalam hal Aqidah itu mutlak harus diikuti. Barangsiapa yang berbeda, berarti dia telah murtad atau kafir.
2. Ahmadiyah tidak memiliki platform ajaran sendiri, tidak seperti agama lain yang memiliki platform ajarannya masing-masing. Jadi lebih baik ahmadiyah mendirikan agama sendiri, tanpa membawa-bawa Islam beserta segala atributnya.
3. Kitab-kitab karangan Mirza Ghulam Ahmad beserta tadzkirahnya menyebutkan bahwa setiap orang yang mengingkari kenabian Mirza Ghulam Ahmad (tidak mengakuinya) dianggap KAFIR oleh kalangan Ahmadiyah. Jadi bagi setiap umat Islam yang membela Ahmadiyah, pelajarilah dulu semuanya. Padahal jelas-jelas mereka menganggap setiap orang yang tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad dianggap KAFIR.
4. Setiap umat beragama yang mempelajari agamanya dengan baik dan benar, dia akan merasakan nikmatnya beribadah dan menjalani ajaran agama tersebut. Dan akan menjadi sakit sekali bila agamanya itu dinodai. jadi bila ada umat Islam yang justru malah membela Ahmadiyah, berarti dia tidak mempelajari Islam dengan baik dan benar (lihat juga poin-poin di atas).
5. Ahmadiyah juga telah membajak kitab suci Al-Qur’an. Tapi (juga) dibiarkan oleh pemerintah dan para aparatnya. Tapi bila lagu ‘Indonesia Raya’ dibajak atau ‘Indonesia’ dinodai langsung ditangkap dan ditindak tegas.
6. Dalam buku karangan nabi palsu tersebut juga ada yang isinya menghina Nabi Isa a.s.
7. Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya mengaku dirinya nabi, tapi juga mengaku dirinya itu malaikat, juga mengaku sebagai tuhan pencipta langit dan bumi (baca tadzkirah).
Jadi sudah jelas bahwa Ahmadiyah itu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang telah diakui, tidak pantas menganggap diri-nya Islam. Wajar bila banyak umat Islam yang melakukan berbagai aksi. Ini karena agama mereka telah dinodai.
Dan juga dipandang dari Pancasila, Ahmadiyah jelas melanggar karena setiap umat beragama yang mempelajari agamanya dengan baik dan benar, dia akan merasakan nikmatnya beribadah dan menjalani ajaran agama tersebut. Dan akan menjadi sakit sekali bila agamanya itu dinodai, seperti yang dijelaskan diatas. Hal ini bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Pancasila adalah ideologi yang sangat baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras dan bahasa karena Pancasila mengakui adanya pluralitas.
2. Dengan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, jika melaksanakannya dengan baik, maka perwujudan untuk menuju negara yang aman dan sejahtera pasti akan terwujud.
3. Dalam memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa tak dapat dipisahkan dari ke empat sila lainnya.
4. Ditinjau dari Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa kasus Ahmadiyah merupakan suatu pelanggaran karena Pancasila mengajarkan kebebasan memeluk agama dan keyakinan masing-masing bukan kebebasan mengubah ajaran suatu agama yang dalam hal ini agama Islam.
3.2. SARAN
Berdasarkan pembahasan diatas, ada beberapa saran yang perlu untuk dipertimbangkan untuk lebih meningkatkan pemahaman terhadap nilai Pancasila, yaitu :
1. Untuk semakin memperkokoh rasa bangga terhadap Pancasila, maka perlu adanya peningkatan pengamalan butir-butir Pancasila khususnya sila ke-1. Salah satunya dengan saling menghargai antar umat beragama.
2. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
3. Pemerintah sebaiknya melakukan pendekatan yang persuasif untuk membawa pengikut Ahmadiyah kembali pada koridor Islam.
4. Jika pengikut Ahmadiyah tetap bersikukuh dengan keyakinannya, sebaiknya mereka mendirikan agama baru tanpa membawa-bawa Islam beserta atributnya untuk menghindari keresahan dan ketegangan di dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan butir sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, M.S. 2003. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
http://jangkrik-muda.blog.friendster.com/
http://lasonearth.wordpress.com/makalah/makalah-pancasila-pancasila-vs-agama/
http://lets-belajar.blogspot.com/2007/09/sila-ketuhanan-yang-maha-esa.html
Selasa, 10 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar