Selasa, 10 Mei 2011

Pancasila Kewarganegaraan ( Tugas 6)

KASUS NEWMONT ( PENCEMARAN DI TELUK BUYAT )


Abstrak, Kasus Buyat merupakan salah-satu dari sekian banyak kejahatan korporasi atau corporate crime yang terjadi di Indonesia. Kebijakan investasi pemerintah yang memberikan konsesi pada investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia ternyata telah membawa dampak pada keselamatan hidup manusia maupun sistem lingkungan di sekitarnya, sebagaimana yang dialami oleh penduduk di pesisir Teluk buyat. Atas nama iklim investasi, mereka dapat menekan suatu negara untuk membatalkan proses hukum yang dilakukannya. Kegagalan pemerintah Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban PT. Newmont Minahasa Raya, menunjukan lemahnya posisi negara ketika berhadapan dengan korporasi asing. Belajar dari kasus Buyat ini dapat dimanfaatkan dalam mencegah dan/atau meminimisasi dampak negatif sekaligus memaksimalkan dampak positif dari aktifitas perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia.


Pendahuluan

Musim angin timur bagi nelayan yang tinggal di pesisir Teluk Buyat adalah merupakan masa datangnya karunia ganda yang diberikan alam bagi mereka karena selang bulan Januari hingga Maret merupakan masa panen ikan ketika melaut. Sementara itu di sepanjang pesisir pantai sebagian warga secara berkelompok mendulang partikel-partikel emas yang terbawa bersama pasir yang berasal dari dasar laut lepas ke darat oleh ombak. Saat sore sampai malam hari para pendulang emas mengumpulkan pasir ke tepi pantai dan paginya baru mereka lakukan pendulangan emas. Dan dari aktivitas ini kami dapat mendulang rata-rata 2 gram emas per-orang cerita Adam Sarundayang penduduk desa Ratatotok Timur, tentang kenangan mereka pada jaman kolonial Belanda atau sekitar era 1930-an (Manado Post edisi 12 Juni 2000).

Ironisnya ketika wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah konsesi kontrak karya oleh pemerintah pada tahun 1986 dengan pemegang hak kontrak PT. Newmont Minahasa Raya, mereka disingkirkan dan selain itu juga akses penduduk Ratatotok untuk mendapatkan karunia alam itu kini telah hilang. Apalagi perairan disekitarnya adalah lokasi pembuangan tailing PT. NMR di kedalaman 82 meter di Teluk Buyat.

Semenjak itu lah sejumlah penduduk di perkampungan yang terletak disekitar wilayah konsesi PT. NMR mulai mengalami masalah pada kesehatan mereka. Hal ini disebabkan karena terjadinya pencemaran lingkungan di wilayah tersebut. Kasus pencemaran di Teluk Buyat ini telah menjadi perhatian masyarakat luas. Bahkan dalam agenda Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah ditetapkan menjadi bagian dalam program kerja 100 hari.


Pembahasan

PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) adalah perusahaan tambang emas penanaman modal asing (PMA) yang merupakan anak perusahaan Newmont Gold Company, Denver, (USA). Kontrak Karya (KK) PT NMR disetujui tanggal 6 November 1986 oleh Presiden RI kala itu, Jenderal Soeharto, bersamaan dengan 33 naskah kontrak karya lainnya yang disetujui. Wilayah konsensi dalam Konrak Karya meliputi 527.448 hektar di desa Ratotok, kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Sebanyak 80 % saham dimiliki Newmont Indonesia Ltd. yang berkantor di Australia dan sebesar 20 saham oleh PT. Tanjung Sarapung milik pengusaha Jusuf Merukh. Proyek ini terdiri atas deposit utama di Mesel dan dua lainnya di Leons dan Nibong. Newmont Minahasa Raya merupakan operasi ke tiga dari Newmont Internasional.

Menurut Kontrak Karya, untuk setiap wilayah pertambangan akan berlangsung selama 30 tahun setelah saat dimulainya penambangan yang pertama, atau periode yang lebih lama yang dapat disetujui oleh Departemen Pertambangan dan Energi atas permohonan tertulis dari perusahaan. Umur tambang PT. NMR diperkirakan akan mencapai 12 tahun. Selama operasinya, PT. MNR adalah satu-satunya perusahaan yang terbanyak mempekerjaan karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung di daerah Minahasa. PT. MNR dan kontraktornya telah memberikan kesempatan kerja bagi 700 orang Indonesia. Dari jumlah tersebut 85% berasal dari Provinsi Sulawesi Utara. Karyawan lain yang tidak dipekerjakan secara langsung oleh PT. NMR jumlahnya tidak sedikit, mereka bekerja di perusahaan pemasok peralatan, bahan konstruksi, produksi makanan dan bidang lain yang diperlukan agar tambang dapat beroperasi. Bila memungkinkan, PT. NMR membeli barang dari pemasok lokal. Sejak 1994, PT. NMR telah membelanjakan lebih dari US$100 juta untuk barang dan jasa dari pengusaha lokal di Sulawesi Utara.

Tahun 1996 PT. NMR mulai berproduksi. Sejak saat itu lah PT. NMR mulai membuang limbahnya melalui pipa ke perairan laut Teluk Buyat, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow. Wilayah tambang PT. NMR sendiri adalah Desa Ratatotok, perbatasan antara Kabupaten Minahasa Selatan dan Bolaang Mongondow. Setiap hari, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan PT. NMR ke dasar perairan Teluk Buyat. Dari lokasi tambang tailing dialirkan melalui pipa baja sepanjang 10 km menuju perairan Teluk Buyat di kedalaman 82 meter. Mulut pipa pembuangan tersebut berjarak 900 meter dari bibir pantai Buyat.

Bersamaan dengan pembuangan limbah tailing di perairan Teluk Buyat, nelayan yang bermukim di sekitar Teluk Buyat mulai mendapatkan puluhan ikan mati di wilayah perairan tempat mereka mencari nafkah. Dengan mengambil contoh ikan yang terdampar, nelayan pantai Buyat melakukan protes minta pertanggungjawaban perusahan, namun dengan sangat arogan perusahan emas skala besar pertama di Sulawesi Utara ini membantah bahwa kematian ikan tersebut adalah karena pemboman ikan yang dilakukan nelayan itu sendiri. Mereka (PT. MNR) memanfaatkan polisi perairan setempat memberi laporan kepada publik bahwa ikan mati karena pemboman (destructive fishing). Tapi tindakan dari perusahan ini tidak memberi keyakinan bagi nelayan karena realita berbicara lain yaitu bersamaan dengan temuan ikan mati, jumlah hasil tangkapan mereka telah menurun drastis. Untuk mencari jawaban penyebab ikan mati, nelayan pantai Buyat membawanya ke laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado, tapi upaya tersebut kandas. Laboratorium milik perguruan tinggi terbaik di Sulawesi Utara tersebut ternyata tidak sanggup meneliti dengan alasan ikan (sampel) yang dibawa tidak layak lagi diteliti.

Sejumlah perkampungan yang terletak di sekitar wilayah konsesi PT. NMR, ada 6 (enam) desa yang memiliki interaksi langsung dengan aktivitas perusahan juga turut mengalami dampak pencemaran pembuangan limbah tailing dan juga akibat dari aktivitas pertambangan. Desa-desa tersebut adalah desa Basaan, desa Buyat dan 4 (empat) desa yang belum lama ini (1997) merupakan hasil pemekaran wilayah Ratatotok yaitu desa Ratatotok I, desa Ratatotok II, desa Ratatotok Selatan dan desa Ratatotok Timur. Ke-enam desa tersebut dalam pembagian administrasi pemeritahan termasuk dalam wilayah kecamatan Belang Kabupaten Minahasa (desa Basaan dan 4 desa Ratatotok). Sedangkan desa Buyat termasuk wilayah kecamatan Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow.

Penempatan Fasilitas PT. NMR di sebelah utara kampung dibangun dermaga dan untuk menghubungkannya dengan lokasi pabrik perusahan membangun jalan menggunakan bahan baku berupa serpihan batuan sisa penambangan, akibatnya pada musim panas rakyat Pantai Buyat akan menghirup debu yang adalah serpihan batu halus sepanjang waktu. Sebaliknya di musim hujan akibat konstruksi badan jalan letaknya lebih tinggi dari batas tertinggi pasang air laut, ketika terjadi hujan maka air akan menuju perkampungan dan menggenangi lokasi pemukiman sepanjang musim. Selanjutnya secara bersamaan rakyat Pantai Buyat dihadapkan dengan sejumlah persoalan mulai dari kehilangan sumber air bersih, sebab sungai Buyat yang merupakan satu-satunya tempat untuk memenuhi kebutuhan air bersih berubah menjadi keruh seiring aktivitas perusahan di hulu sungai. Mereka harus kehilangan wilayah tangkapan ikan karena ternyata sedimentasi limbah tailing telah menutupi hampir seluruh permukaan dasar perairan mulai dari wilayah lamun (sea grass) hingga ke kawasan terumbu karang (coral reef). Walaupun perusahan mencoba mengatasinya dengan menempatkan ratusan karang buatan (artificial coral reef) ternyata tidak memberi pengaruh yang berarti, dan paling tragis adalah muncul banyak penyakit misterius yang dialami oleh hampir seluruh warga, seperti : muncul gatal-gatal, sakit kepala yang berulang-ulang, perut sering mual, muntah, pembengkakan di beberapa bagian tubuh dan beberapa ibu sering mendadak pingsan.

Kasus pencemaran ini sebenarnya sudah merebak sejak tahun 1999, namun belum mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pada tahun 2000 Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai menteri Pertambangan dan Energi (MENTAMBEN) dan Sonny Keraf menjadi menteri Lingkungan Hidup (LH), sempat memberikan penyataan yang menyejukkan hati masyarakat setempat, bahwa ia tidak akan kompromi dengan pelaku pencemar lingkungan, sementara Sonny Keraf dengan tegas menyatakan bahwa Pipa Pembuangan Tailing PT. NMR tidak berizin, “Amdal memang ada tetapi tidak termasuk saluran pembuangannya” demikian kata Keraf saat itu (Manado Post 28 April 2000). Namun kedua pernyataan pejabat tersebut hanya sebatas kata-kata belaka, sebab tanpa diimbangi dengan tindak lanjut yang nyata untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Menanggapi berbagai keluhan maayarakat dan kontroversi menyangkut pencemaran di Telek Buyat tersebut, pemerintah daerah kemudian melakukan penelitian yang ditunjuk berdasarkan Surat Penunjukkan (SP) Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Nomor 3 Tahun 1999. Penelitian pertama dilakukan oleh Tim Independen yang terdiri atas beberapa peneliti Universitas Sam Ratulangi dan Pemda Sulawesi Utara. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya pencemaran sejumlah logam berat di sekitar pipa pembuangan tailing. Kesimpulan tersebut dibantah oleh pihak PT. NMR yang membiayai penelitian tersebut. PT. NMR menyangkal tailing sebagai sumber pencemaran dan menuding tambang rakyat di Sungai Totok sebagai sumber pencemaran.

Hasil penelitian ini, menjadi kontroversi antara pemerintah Propinsi Sulawesi Utara dengan pihak PT. NMR. Padahal tim peneliti telah memberikan solusi kepada pihak PT. NMR untuk memperpanjang pipa pembuangan tailing ke arah laut lepas yang memiliki kedalaman di atas 100 meter jika ingin terus mempertahankan sistem pembuangan tersebut. Untuk mengatasi kontroversi tersebut akhirnya diputuskan dibentuk tim penelitian baru yaitu Tim Terpadu, yang terdiri atas pihak PT. NMR, Pemda Sulut, DPRD Sulut, dan beberapa peneliti Universitas Sam Ratulangi. Penelitian yang hasilnya dituliskan oleh pihak PT. NMR tersebut menyimpulkan bahwa kandungan sejumlah logam berat di air dan sedimen Perairan Teluk Buyat masih dalam ambang batas aman.

Dengan adanya dua kesimpulan berbeda tersebut, terjadilah polemik di tengah publik dan pemerintahan daerah. Untuk memperkuat argumenya kemudian PT. MNR, mengundang peneliti asing yaitu CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization) lembaga penelitian dari Australia. Dalam hasil studinya menunjukkan perairan Teluk Buyat tidak tercemar logam berat dan konsentrasi logam pada jaringan tubuh ikan berada pada kisaran normal. Hasil penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) / National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4 Oktober 2004) dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang dikeluarkan pada 19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat.

Dan akhirnya untuk menengahi kontroversi tentang adanya pencemaran di perairan Teluk Buyat di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, pemerintah pusat lalu mengirimkan tim penelitinya untuk melakukan penelitian terpadu di Teluk Buyat dan sekitarnya. Penelitian tersebut dilakukan oleh Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pante dan Desa Ratatotok Timur Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 97 Tahun 2004, Jo Keputusan MENLH No. 191 tahun 2004. Tim ini dikenal dengan nama Tim Terpadu. Aspek lingkungan yang diteliti oleh Tim Terpadu meliputi antara lain; kualitas air laut, sungai, air tanah, air minum; kandungan logam berat di dalam ikan, biota laut lainnya, dan bahan makanan utama lainnya; biodiversitas ikan, benthos, plankton; pola arus; lapisan termoklin; dan teknologi pengolahan yang digunakan oleh PT. NMR.

Pemerintah pusat menyimpulkan, perusahaan tambang emas PT. NMR telah mencemari lingkungan di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Laporan audit internal Newmont yang dibeberkan dalam harian New York Times (22/12), juga ditemukan oleh Tim Terpadu Penanganan kasus Buyat. Pembuangan sebanyak 33 ton merkuri langsung, sudah dicurigai oleh tim terpadu dalam laporannya tertanggal November 2004. Kecurigaan tim terpadu terbukti pada laporan audit internal Newmont yang dipaparkan dalam artikel New York Times berjudul "Mining Giant told It Put Toxic Vapors Into Indonesia's Air". Dalam laporan tersebut ditunjukkan pada 1998 mercury scrubber tidak berfungsi dengan baik, dan baru diperbaiki pertengahan tahun 2001, sehingga merkuri menguap ke udara dan tidak ditangkap sebagai kalomel. Dalam laporan audit internal yang dibeberkan oleh harian New York Times itu juga disebutkan 33 ton merkuri yang seharusnya dikumpulkan dan dikirim ke PPLI selama 4 tahun ternyata, 17 ton di antaranya terlepas di udara dan 16 ton dilepaskan ke Teluk Buyat.

Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, tidak hanya dikenal dalam UU No. 23/1997. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) juga mengatur pertanggungjawaban atas kejahatan korporasi. Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law".

Dalam bukunya Explaining Crime, Joseph F. Sheley mendefinisikan dan membagi corporate crime (kejahatan korporasi) dalam enam kategori yaitu, defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan besar keuntungan yang sebenarnya kepada pemegang saham), defrauding the public (mengelabui publik tentang produkproduknya terutama yang berkaitan dengan mutu dan bahan), defrauding the government (membuat laporan pajak yang tidak benar), endangering employees (perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan kerja para karyawannya), illegal intervention in the polical process (berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye) dan endangering the public welfare (proses produk yang menimbulkan polusi, debu, limbah B3, suara dan lain sebagainya).

Merujuk pada kategori yang disebutkan Sheley di atas, dalam kasus Buyat ini kejahatan korporasi terbukti membawa dampak kerugian terhadap kehidupan baik dari segi pencemaran lingkungan maupun musnahnya satwa yang dlindungi. Fakta lapangan mengungkapkan bahwa pembuangan limbah produksi secara sengaja tanpa pertimbangan AMDAL dapat menyebabkan kematian, baik manusia maupun makhluk hayati lainnya. Meski pihak PT. NMR bersikukuh bahwa kandungan arsen, merkuri, serta sianida dalam sedimen dan biota laut di Teluk Buyat masih di bawah baku mutu ketentuan mana pun. Namun hasil kajian hukum tim teknis menunjukkan cukup bukti adanya beberapa pelanggaran perizinan oleh PT. NMR yang memicu pencemaran di Teluk Buyat.

Atas dasar itu pemerintah Indonesia kemudian mengajukan gugatan hukum secara perdata maupun pidana terhadap PT. NMR dan presiden direkturnya, Richard Bruce Ness. Mereka dituntut untuk memenuhi kewajiban clean up selama 30 tahun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Nomor 23 Tahun 1997, juga dituntut membayar ganti rugi materiil US$ 117 juta (sekitar Rp 1,058 triliun) dan ganti rugi imateriil Rp 150 miliar, selain tindak penegakan hukum.

Namun gugatan hukum yang dilakukan pemerintah Indonesia tersebut menemui kegagalan. Dalam sidang putusan kasus pidana lingkungan tersebut, PT. NMR sebagai terdakwa I dan Richard Ness sebagai terdakwa II dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal menarik yang patut di ungkapkan di sini adalah adanya bentuk campur tangan asing terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Duta Besar Amerika Serikat, Ralph L. Boyce mendatangi Mabes Polri dan menemui Presiden Megawati untuk mempengaruhi proses penanganan kasus Buyat. Boyce juga menyatakan bahwa penahanan eksekutif PT. NMR akan memperburuk iklim investasi. Dalam kondisi demikian maka terjadi imperialisme, yang didefinisikan Cohen sebagai suatu hubungan dominasi atau kontrol yang efektif, politik atau ekonomi, langsung atau tak langsung dari suatu negara atas negara lain. Sebagaimana akhir dari perjalanan kontroversi kasus Buyat ini yang mencapai klimasksnya setelah terjadinya negosiasi antara pemerintah dan PT. NMR yang ditandai dengan pemberian ganti rugi sebesar US$ 30 juta.

Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi dalam kasus pencemaran lingkungan hidup di dunia pada tahun 2004. Kasus ini nyaris mampu menyamai rekor kasus “Minamata Deases” di Teluk Minamata Jepang di masa itu, sehingga tercipta suatu kerjasama internasional untuk mengadakan suatu “International Conference” tentang “System Tailing Displacement (STD)” di Kota Manado, Sulut. Tak kurang dari 10 negara yang menjadi korban perusahaan-perusahaan tambang emas skala besar dan kecil seperti Papua Nugini, Pilipina hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”. Hanya saja, kegiatan ini tidak mendapatkan respon yang positif baik dari pemerintah pusat maupun daerah.























Kesimpulan

Kasus Newmont ini merupakan salah-satu dari sekian banyak bentuk kejahatan korporasi atau corporate crime yang terjadi di Indonesia. Sudah banyak bukti yang menunjukan bahwa Multi National Corpration (MNC) hanya memikirkan keuntungan semata, tanpa memperdulikan lingkungan dan penduduk disekitarnya. Masih banyak kasus-kasus kejahatan korporasi lainnya yang belum tertangani dengan baik oleh pemerintah seperti: kasus Monsanto, Freeport, Lapindo dan lain-lain. Kebijakan investasi pemerintah yang memberikan konsesi pada investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia ternyata bukan hanya menghasilkan devisa bagi negara, tetapi juga sebaliknya telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan membawa masalah kesehatan bagi penduduk di sekitarnya. Karena itu pemerintah perlu segera merumuskan ketentuan perundangan yang terkait dengan kejahatan korporasi baik yang akan membawa dampak pada keselamatan hidup manusia maupun sistem lingkungan, agar terdapat kepastian hukum jika terjadi kasus serupa. Dengan demikian maka pemerintah Indonesia dapat lebih berhati-hati lagi dalam memberikan konsesi pada perusahaan asing yang hendak mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia. Kasus Newmont ini dapat dijadikan pelajaran berharga, yang dapat dimanfaatkan dalam mencegah dan/atau meminimisasi dampak negatif sekaligus memaksimalkan dampak positif dari aktifitas perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia.

Berkaca dari kasus Newmont ini juga menunjukan masih lemahnya posisi negara ketika berhadapan dengan korporasi asing yang mendapatkan sokongan politik dari pemerintahan di negara asalnya ketika menghadapi sengketa di negara tempat eksplorasinya. Dalam kasus ini intervensi kekuasaan asing sangat tampak dengan adanya lobi-lobi yang dilakukan Dubes AS untuk menggagalkan proses hukum yang dilakukan terhadap PT. NMR dan Presiden Direkturnya, yang akhirnya dimenangkan pengadilan. Lemahnya posisi negara ini tercermin dari keengganan pemerintah Indonesia untuk meneruskan gugatan hukum terrhadap PT. NMR karena pemerintah Indonesia pesimistis dapat memenangkan gugatan banding setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Newmont. Sebab jika banding kalah, pemerintah wajib merehabilitasi nama Newmont di mata dunia yang memerlukan biaya yang mahal. Pada akhirnya investasi dalam skala besar memang akan lebih diperhatikan di negara ini, dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakatnya.


Daftar Pustaka

“Cukup Bukti PT NMR Langgar Perizinan”, http://www.buyatdisease.com/berita/14.php
Eddie Rinaldy, “Resensi Buku: Kejahatan Korporasi Yang Mengerikan” BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005.
“Intervensi Dubes AS Dalam Kasus Buyat Telah Melecehkan Hukum dan Kedaulatan Indonesia”, Kamis, 29 September 2004, http://www.jatam.org/content/view/1164/40/
“Newmont Minahasa Raya”, http://www.newmontindonesia.com. Diakses pada tanggal 06 Juni 2005, pukul 16:40.

“Newmont Minahasa Harus Reklamasi Lokasi Bekas Penambangan”, http://www.tempointeraktif.com, Rabu, 01 September 2004.

“Pemerintah Akan Cabut Gugatan ke Newmont”, Tempo, Kamis, 16 Februari 2006 | 12:22 WIB, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/02/16/brk,20060216-74031,id.html
“Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perkara Lingkungan”,
http://www.hukumonline.com. Rabu, 8 Juni 2005.

“PT. Newmont Minahasa Raya”, Jatam, http://www.jatam.co.id. Diakses pada tanggal 07 April 2005.

Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

R.R. Ariyani, “Laporan New York Times Soal Newmont Sama dengan Temuan Tim Terpadu”, http://www.tempointeraktif.com, Sabtu, 25 Desember 2004, 15:00 WIB.
Veronica A. Kumurur, “Perairan Teluk Buyat Minahasa Sulawesi Utara Sudah Tercemar Logam Berat”, http://www.sulutlink.com. Diakses pada tanggal, 8 Juni 2005.
__________________, “Pencemaran Perairan Teluk Buyat, Sulawesi Utara Indonesia”, Sabtu, 19 Agustus 2006, http://veronicakumurur.blogspot.com/2006/08/oleh-veronica-kumurur-kasus-buyat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar