Selasa, 10 Mei 2011

Pancasila Kewarganegaraan ( Tugas 5)

KASUS VIDEO PORNO
DILIHAT DARI SISI HUKUM DAN SOSIOLOGIS

BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi menyebabkan privasi kini tak lagi berpagar. Tak salah jika perkembangan teknologi informasi diibaratkan pisau bermata dua, bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Oleh karena itu, pada era digital saat ini kita dituntut kehati-hatian dan tanggung jawab dalam memanfaatkan teknologi. Pada zaman Internet dunia seakan tak lagi bertabir. Hal-hal yang positif dan negatif dengan mudah diakses setiap saat di mana pun dan oleh siapa pun.
Kasus video mesum mirip selebritas Luna Maya, Ariel Peterpan, dan Cut Tari merupakan contoh dari bergitu kuatnya pengaruh teknologi informatika terhadap kehidupan masyarakat. Jika kondisinya sudah seperti ini, lantas siapa yang dipersalahkan? Dalam konteks peredaran video porno adalah penyebar pertama di ranah Internet yang paling bertanggung jawab. Pelakunya bisa dikenakan pasal pidana, sebagaimana diatur dalam perundangan kesusilaan dan pornografi.
Hal yang menarik dari kasus video mesum Ariel “Peter Pan”, yaitu proses yang cukup berkepanjangan untuk menjebloskan Ariel ke dalam ruang tahanan Mabes Polri sebagai tersangka. Itupun barangkali penjeblosan Ariel sebagai upaya memenuhi reaksi publik yang mendesak aparat penegak hukum agar Ariel tetap diproses hukum, mengingat video mesum mirip Ariel terlanjur menyebar seantero dunia maya yang sangat mudah diakses, dan dikhawatirkan merusak moral kalangan remaja
Lantas bagaimana dengan para bintang filmnya? Sekalipun ada upaya berkelit bahwa rekaman video mirip Ariel-Luna-Cut Tari adalah rakayasa, koleksi pribadi dan bukan untuk konsumsi umum (hak personal yang bersifat privasi), hukum tetap dapat menjangkaunya. Di dalam Pasal 12 Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia tahun1948 memang disebutkan bahwa setiap orang harus dilindungi hukum karena memiliki hak untuk tidak diganggu privasinya.
Namun jangan lupa, deklarasi ini bukan tanpa batas. Setiap negara mempunyai hukum untuk mengatur kepentingan dan ketertiban masyarakatnya. Jadi, bilamana kepentingan dan ketertiban umum terganggu-misalnya dengan adanya penyebaran video cabul-tentu negara dapat mengambil tindakan hukum untuk menjerat pelakunya.
Mengapa Ariel begitu lama ditetapkan tersangka? Boleh jadi aparat penegak hukum ketika itu mengalami kesulitan atau gamang untuk menjerat Ariel ke pelanggaran kejahatan kesusilaan jenis apa. Apalagi persepsi hukum masyarakat negeri ini belum memiliki kesepahaman norma yang bisa dijadikan pijakan hukum secara dogmatik untuk merumuskan apa saja yang bisa dikategorikan pelanggaran kesusilaan. Dari uraian tersebut di atas, kami mencoba untuk mencari jawaban bagaimana ancaman hukuman mengenai penyebaran video porno berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia?

BAB II
TINJAUAN HUKUM DAN SOSIOLOGIS TERHADAP KASUS VIDEO PORNO
Indonesia memiliki beberapa peraturan hukum bagi pelanggar kesusilaan dan pornografi. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dapat menjerat pelaku atas perbuatan yang melanggar kesusilaan dan pornografi. Dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa ”membuat; memproduksi, dan memperbanyak hal-hal yang berbau porno dan penyimpangan susila dapat diancam hukuman pidana”.
Untuk ancaman hukuman terhadap kasus video porno dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu hukuman penjara dua belas tahun, karena terbukti melanggar Pasal 4 Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, bahwa: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewa, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: Pengsenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak”, dan Pasal 27 Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 27 yang berbunyi :
Ayat (1) disebutkan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat yang dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Ancaman pidananya tertuang di Pasal 45 Ayat (1) yakni "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000."
Bila menilik pasal di UU ITE itu, boleh jadi bisa memberatkan para bintang film yang diduga mirip artis Luna Maya, Ariel, dan Cut Tari sekalipun ada pembelaan Selain itu ancaman pidana tersebut jug tercantum pada Pasal 29 yakni "Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000 dan paling banyak Rp6.000.000.000.
Secara hukum, istilah membuat memang bisa dimaafkan karena sifatnya untuk kepentingan pribadi. Asal saja tidak diedarkan tetapi untuk disimpan dalam laci sendiri. Hanya kedua pasangan yang mengetahui kejadian yang mereka perbuat. Berbeda halnya dengan istilah memproduksi, apalagi secara massal disebarluaskan ke masyarakat, sehingga umum mengetahui tindakan asusila pasangan yang diduga artis tenar itu.
Jika hasil penyidikan polisi ke arah tersebut dan terbukti ada unsur perbuatan memproduksi dalam bentuk rekaman video, maka hukum tidak akan memaafkan. Tindakan hukum juga dapat dilakukan memakai Pasal 282 KUH Pidana karena telah mempertunjukkan gambar atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan. Peraturan hukum ini pun bisa disertakan secara berlapis. Dan dalam kasus ini jika Ariel nanti dipastikan terbukti melakukan kejahatan kesusilaan sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE, maka baik Luna maupun Cut Tari, bisa dijerat sanksi pidana yang sama sebab keduanya menurut logika Pasal 55 dan 56 KUHPidana, dipandang turut serta atau bersama-sama melakukan kejahatan kesusilaan.
Rujukan pasal tersebut, boleh jadi merupakan apologi yang bakal digunakan para pengacara Ariel untuk membebaskan kliennya Ariel dari tuduhan kejahatan kesusilaan. Karena boleh jadi pengacara Ariel menunjukkan bukti rekaman mesum, Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari, saat itu belum atau sudah tidak terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Memang faktanya, Ariel sekarang sudah tidak terikat perkawinan lagi dengan orang lain. Ia sudah bercerai dengan isterinya yang dulu.
Bila tuduhan mengarah ke Ariel atas dasar pelanggaran Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008 dan Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008, yaitu karena menyebarkan gambar mesum ke ruang publik melalui fasilitas elektronik, maka boleh jadi apalogi yang digunakan pengacaranya, adalah Ariel tidak terbukti sengaja menyebarkan video mesum. Faktanya, sejak awal penyidik lebih sibuk mencari pihak ketiga yang paling bertanggung jawab menyebarkan video mesum Ariel.
Disinilah problem definisi kejahatan kesusilaan di negeri ini yang sedang terjebak paradigma ideologi hukum sekuleristik, yaitu sebuah ideologi hukum yang menihilkan nilai-nilai relijiusitas. Padahal dulu, tradisi orang tua kampung kita, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim kedapatan berduaan di tempat sepi, niscaya diarak keliling kampung, sebab dianggap membawa aib dan malu di tengah masyarakat.
Justeru sebaliknya sekarang, mungkin ada banyak Ariel lain di negeri ini, yang berbuat nista tetapi hukum sudah tidak lagi mampu untuk menjamahnya. Barangkali persepsi hukum masyarakat sekarang tentang kesusilaan tidak seperti persepsi hukum orang tua di kampung kita dulu. Telah terjadi degradasi nilai apa yang disebut sebagai mesum atau bukan mesum. Artinya, masyarakat bangsa ini memang sedang terjebak persepsi hukum yang berkiblat sekulerisme ketika memandang persoalan hukum yang disebut sebagai kejahatan kesusilaan. Mulai ada anggapan bahwa mesum atau tidak, itu adalah persoalan privasi orang.
Kini perkara video mesum yang berbias mengkerangkeng Ariel, akan kembali menjadi “test-case” efektivitas penerapan segenap produk hukum tentang kejahatan kesusilaan. Figuritas dan keselebritisan Ariel di kalangan remaja tentu saja menjadi salah satu faktor menganganya kontroversi untuk menghukum sang musikus. Adalah sangat aneh dan tidak masuk akal, seseorang yang kawin secara baik-baik, semisal dalam kasus Syekh Puji dulu, diperlakukan sebagai terhukum. Sementara tatkala ada orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan mesum yang dilarang agama, masih dipandang sebagai seseorang yang harus dilindungi secara hukum, atau barangkali hanya pengadilan akhiratlah yang bisa memberikan hukuman setimpal kepada orang-orang yang berbuat bejat. Memang negeri ini masih menyimpan kontroversi hukum menyangkut apa yang disebut mesum atau tidak mesum sebagai kejahatan kesusilaan
Peredaran rekaman gambar video porno yang bintang filemnya mirip artis ternama tersebut di jejaring Internet, telepon genggam dan VCD hendaknya harus jadi pembelajaran. Sebab tak ada istilah privasi atau hak personal, jika kenyataan film beredar secara massal. Hukum akan menjerat, baik kepada para bintang film-nya maupun mereka yang memproduksi.
Perlu juga diingat, bahwa kemajuan teknologi informasi menuntut adanya kesadaran dan kehati-hatian dalam bertindak. Terutama untuk sesuatu barang atau bentuk apa pun karya cipta yang bersifat privasi. Sebab hak personal pribadi tidak lagi berpagar.
Memang betul negeri ini boleh disebut sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim yang sangat menjunjung tingi nilai-nilai moralitas, tapi dari segi pengaturan dogma hukum menyangkut kejahatan kesusilaan, masih terlihat ambigu. Pemberlakuan pasal 282 KUHPidana yang notabene merupakan produk peninggalan kolonialisme Belanda, hanya menyebutkan perzinahan sebagai perbuatan kriminal bila dua pasangan yang bersenggama di luar pernikahan, salah satu atau di antara kedua pasangan itu masih terikat perkawinan sah dengan orang lain.
Polisi diharapkan menyidik secara teliti dan proporsional terkait dengan rekaman video porno mirip tiga artis yang kini menghebohkan sebelum menerapkan pasal-pasal yang menyangkut pornografi dan kesusilaan. Sangat diperlukan peran serta praktisi dan pakar teknologi untuk mendapat bukti hukum yang kuat, sehingga para bintang film-nya bisa dijerat pidana.
Asas praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan, jangan sampai ada pihak yang telah diadili sebelum persidangan resmi digelar. Untuk itu, Pada era teknologi saat ini, masyarakat harus mawas diri. Harus diingat persidangan dengan substansi pornografi jenis persidangannya adalah tertutup. Begitu juga media massa, hendaknya selalu berpegang pada kode etik dan undang-undang pers. Pemberitaan harus dikemukakan secara dewasa dan mendidik.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hal-hal yang telah penyusun uraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan daari makalah yang disusun yaitu :
1. Adanya problem definisi kejahatan kesusilaan di negeri ini yang sedang terjebak paradigma ideologi hukum sekuleristik, yaitu sebuah ideologi hukum yang menihilkan nilai-nilai relijiusitas.
2. Pemberlakuan pasal 282 KUHPidana yang notabene merupakan produk peninggalan kolonialisme Belanda, hanya menyebutkan perzinahan sebagai perbuatan kriminal bila dua pasangan yang bersenggama di luar pernikahan, salah satu atau di antara kedua pasangan itu masih terikat perkawinan sah dengan orang lain.
3. Telah terjadi degradasi nilai apa yang disebut sebagai mesum atau bukan mesum. Artinya, masyarakat bangsa ini memang sedang terjebak persepsi hukum yang berkiblat sekulerisme ketika memandang persoalan hukum yang disebut sebagai kejahatan kesusilaan. Mulai ada anggapan bahwa mesum atau tidak, itu adalah persoalan privasi orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar